Selasa, 22 Desember 2009

MENGHARGAI KOMPETENSI SEORANG EKONOM

Dias Satria (posted in Indikator)

Sebagai salah satu Jurusan di Fakultas Ekonomi, Jurusan Ekonomi Pembangunan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menelurkan para ekonom yang gigih dan berbakat. Beberapa nama penting, seperti: Sri Mulyani (Menkeu), Mari Pangestu (Memperindag), Miranda Gultom (Deputi BI), Budiono (Wapres) dan Ahmad Erani Yustika (Ekonom) adalah beberapa contoh ekonom yang tidak asing di negeri ini. Kiprahnya sudah tidak lagi diragukkan telah banyak menyuarakan dan berbuat bagi kepentingan ekonomi bangsa sesuai dengan profesi yang digeluti.

KRISIS EKONOMI: FAKTA KETIDAKBECUSAN SEORANG EKONOM?

Dalam setiap siklus ekonomi seringkali terjadi upturn dan downturn dari pendapatan nasional atau output, yang juga sangat kuat berpengaruh bagi penguatan image ekonomi dan kredibilitas suatu pemerintahan dan Negara. Ketakutan akan sebuah perekonomian yang menurun akan dapat menciptakan instabilitas sosial dan politik tentu bukanlah isapan jempol semata, hal ini terbukti dari beberapa fakta yang terjadi di tanah air di tahun 1997. Chaos ataupun riot terjadi sebagai puncak ketidakpuasan masyarakat atas kinerja pemerintah yang tidak mampu menenangkan badai krisis ekonomi.

Hal ini jugalah yang menjelaskan betapa pentingnya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, serta kebutuhan akan analisis dan policy ekonomi yang tepat, yang mampu membawa perekonomian ke arah yang lebih baik. Namun meski kita memahami hal tersebut, namun pandangan miring akan ketidakbecusan ekonom dalam menjaga perekonomian juga sering kali kita dengar. So, apa dan siapa yang salah dari keadaan ini?

Berdasarkan 3 event ekonomi terbesar di dunia, yaitu: Depresi Ekonomi dunia tahun 1929, Krisis Asia 1997 dan Resesi Global tahun 2007, menunjukkan bahwa ketiga permasalahan tersebut tidak sepenuhnya disebabkan karena kesalahan pandangan atau pemikiran secara ekonomi.

Pertama, di tahun 1929, depresi ekonomi disebabkan karena permasalahan politik (perang dingin) yang berimplikasi pada kebijakan perdagangan internasional negara-negara yang dipaksakan secara politis untuk melakukkan proteksi ekonomi. Keadaan ini pulalah yang mentrigger terjadinya trade policy war atau perang kebijakan proteksi yang mengakibatkan kebekuan perdagangan internasional.

Kedua, Krisis Asia tahun 1997 merupakan kombinasi yang parah antara perilaku pasar keuangan yang diluar batas serta kebijakan pemerintah yang lemah. Dalam konteks ini, behaviour masyarakat dan perusahaan yang cenderung berlebihan dalam melakukkan pinjaman atau hutang luar negri yang tidak terlindungi (unhedged foreign borrowing) menyebabkan mereka sangat terbuka dalam menghadapi shock atau tekanan yang ada. Keyness secara sederhana mengingatkan dalam tulisannya di tahun 20an sebagai perilaku Animal Spirit yaitu perilaku yang cenderung dikuasai oleh nafsu dengan tidak memperhatikkan resiko yang mungkin terjadi.

Ketiga, Resesi Ekonomi Global tahun 2007 utamanya dipicu oleh permasalahan kebijakan ekonomi AS (Amerika Serikat) yang salah, yang menitik beratkan pada kebutuhan perang dengan mengorbankan pada defisit fiskal yang sangat besar. Apakah para ekonom AS tidak melihat titik hitam dalam perekonomian AS? Tentu saja mereka sangat memahami keadaan tersebut, dan sebagai ekonom AS pun sebenarnya tidak sepakat dengan kebijakan yang dilakukkan oleh George Bush. Namun apa yang bisa dilakukkan jika kebijakan politik yang irasional dipaksakan dan harus mengorbankan ekonomi. Hasilnya seperti yang terlihat saat ini dimana, defisit fiskal AS yang begitu besar memicu perlambatan ekonomi AS yang kemudian juga memicu perlambatan perekonomian global.

All in all, ringkasan ketiga fakta diatas menunjukkan bahwa permasalahan ekonomi yang terjadi bukan sepenuhnya disebabkan oleh ketidakbecusan seorang ekonom. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi perekonomian menuju arah yang salah, antara lain: Perilaku masyarakat yang negatif (Moral Hazzard), Pemerintahan yang lemah serta Kebijakan Politik yang dipaksakan.

Namun disisi lain, masyarakat bisa saja menjudge ketidakbecusan ini sebagai koreksi yang positif bagi ekonom sebagai bahan introspeksi diri. Artinya seorang ekonom harus bertanya pada dirinya sendiri, Apakah para ekonom yang bekerja sebagai pengajar (dosen) telah benar-benar mengupdate ilmunya dan memahami secara benar ilmu dan realitas ekonomi? Apakah para peneliti ekonomi telah secara benar-benar melakukkan penelitiannya baik di tingkat pengembangan teori, pengumpulan data, analisis data dan pengambilan kebijakan? Apakah para ekonom telah secara murni menyampaikan gagasannya? Apakah para policy maker sudah benar-benar mempertimbangkan cost-benefit kebijakannya bagi kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat? Pertanyaan inilah yang seharusnya mereka sadari dan fahami bagi perbaikkan kinerja profesinya sebagai ekonom.

MASALAH JURUSAN DI SKALA MIKRO

Salah satu masalah terbesar yang kini dihadapi dan masih belum ada jalan keluar yang riil adalah kesadaran untuk menghargai sebuah “kompetensi keilmuan”. Contoh nyata dari masalah ini adalah masih banyaknya para banker (Bankir) yang tidak memiliki background ekonomi yang baik, selain itu juga tidak banyak perusahaan domestik yang memperkerjakan tenaga kerja sesuai dengan bidangnya. Bahkan ada pandangan yang meyakini jika seseorang ahli atau pandai berhitung (matematika) sudah pasti dia pandai disegala hal. Hal inilah yang kadang menjadi salah kaprah, baik di tingkat yang paling rendah yaitu perekrutan tenaga kerja hingga penciptaan industri-industri yang lemah karena tidak diurus oleh ahlinya.

Pemahaman masyarakat yang rendah atas kompetensi keilmuan Jurusan Ekonomi Pembangunan sedikit banyak menimbulkan kesalahan dalam mengintepretasikan fungsi sebuah ilmu ekonomi dalam aktivitas ekonomi. Inilah merupakan tanggung jawab bersama para stakeholder school of economics untuk kembali mensosialisasikan dan menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat.

THINKING LIKE AN ECONOMIST

Perkembangan analisis ekonomi baik di media massa dan media elektronik telah memberikkan warna tersendiri dalam pengembangan edukasi masyarakat atas suatu fenomena ekonomi dan permasalahannya. Hal ini jugalah yang telah mendorong peradaban masyarakat yang sudah semakin maju dan kritis dalam memahami dan merespon kebijakan ekonomi pemerintah. Dalam bahasa text book alasan utama mempelajari ekonomi adalah “to learn a way of thinking”, yaitu model berfikirnya seorang ekonom yang memiliki 3 konsep fundamental dalam beranalisis, yaitu: Oppurtunity cost, Marginalism dan Efficient Market. (Lihat secara lengkap di Buku Pengantar Ekonomi Karangan Case and Fair).

Jika kita mau memahami 3 konsep sederhana tersebut, tentu hal tersebut akan sangat bermanfaat dalam menganalisis kondisi apapun dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan jika kita menggunakannya secara arif dalam konteks yang lebih luas, bisnis misalnya, tentu akan memberikkan keuntungan.

Contoh yang sederhana dari Efficient Market misalnya, konsep ini menjelaskan bahwa keuntungan atau profit dalam suatu perekonomian akan sangat cepat hilang. Karena kecenderungan masyarakat berusaha untuk mencari keuntungan yang menjanjikkan. Sehingga jangan heran jika ada penjual bakso bakar yang laris misalnya, maka akan muncul para penjual bakso bakar lainnya yang ingin menchallenge dan mencoba peruntungan. Oleh karena itu konsep ini mensuggest kita untuk selalu berfikir dan bertindak inovatif dan kreatif, agar bisnis atau hal yang kita lakukkan tidak mudah diikuti dan mempunyai kekhasan yang berbeda dengan lainnya. Konsep ini juga memiliki motto yang popular, yaitu: “No Free Lunch…” atau tidak ada makan siang yang gratis. Meski secara kasat mata anda dibayari oleh partner atau teman anda. Selalu saja ada benih-benih tendensi dari teman atau partner anda jika mereka melakukkan hal tersebut. Meski mungkin konsep ini juga harus direvisi, bahwa tendensi orang berbuat baik bisa jadi tidak berhubungan dengan dunia jika mainstream yang digunakan berbasis religi seperti sharia economics. Namun inilah …way of thinking yang harus selalu kita fahami.

Memahami bagaimana seorang ekonom berfikir juga dapat dipelajari dari apa yang dipaparkan oleh Gregory Mankiw dan Jeffrey Sachs. Pertama, Mankiw menjelaskan bagaimana seorang Ekonom berpikir ala detektif. Kedua pandangan Jeffrey Sachs yang memandang masalah ekonomi dengan pendekatan Clinical Economics.

Dalam pandangan Mankiw, ekonom memiliki pendekatan yang hampir sama sebelum menarik kesimpulan. Mereka memulai pekerjaannya dengan membangun teori, kemudian mencari fakta (data), mencocokkan teori yang dibangun dengan fakta (data) dilapangan yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan.

Selanjutnya, dalam pendekatan Clinical Economics, seorang ekonom layaknya dokter diharapkan dapat memahami gejala-gejala yang timbul dari suatu penyakit, yang dari sinilah baru kemudian seorang dokter dapat mengambil tindakan atau treatment yang tepat bagi proses penyembuhan. Dalam proses ini seorang dokter atau ekonom diharapkan memahami bagaimana jalur transportasi darah (uang) dan pentingnya dalam menunjang fungsi organ lainnya (aktivitas perekonomian). Oleh karena itu para dokter atau ekonom membutuhkan gambaran yang jelas dari bagian seluruh organ (data ekonomi) untuk dapat mengambil kesimpulan yang tepat.

ALL IN ALL

Terakhir, pengembangan ilmu ekonomi diharapkan dapat terus bermanfaat demi eksistensinya dalam mendorong aktivitas dan pembangunan ekonomi yang lebih maju. Hal ini tentu sangat diharapkan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Di sisi lain, mahasiswa ekonomi saat ini juga dituntut untuk menghargai ilmu yang digelutinya dengan baik. Hal ini ditujukkan agar mereka semakin yakin dan haus akan penimbaan ilmu yang lebih dalam. Semoga hal ini dapat memberikkan impulse yang besar bagi kemajuan dan peradaban ekonomi yang lebih baik, serta pemahaman yang baik akan kompetensi sebuah ilmu ekonomi.

0 komentar: