Sabtu, 26 Desember 2009

ANALISIS TENTANG OTONOMI KHUSUS PAPUA

Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk memiliki pemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua.
Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian lain, kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal yang hanya berlaku di Papua dan mungkin ada yang tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain namun diterapkan di Papua.
Maka secara ringkas Otonomi Khusus di Papua bisa dipahami dengan hal-hal berikut:
Penyelenggaraan Otonomi khusus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah
Pelaksanaan Otonomi khusus harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, maka dari itu dalam Daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya yang berlaku ketentuan Peraturan Daerah
Kita melihat bahwa dalam beberapa pekan terakhir terjadi polemik kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah papua. Sebenarnya hal ini dipicu dengan adanya OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak ditetapkannya papua menjadi bagian dari Indonesia. Misi yang dibawa oleh OPM kini semakin terlihat dengan timbulnya pemberontakan untuk meminta Papua lepas dari pemerintah Indonesia. Salah satu alasan kuat karena masyarakat Papua menginginkan untuk mengelola wilayahnya sendiri dan menciptakan pendapatan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Papua.
Sebenarya jika melihat tujuan dari Otonomi Khusus Papua, peraturan tersebut tidaklah merugikan masyarakat Papua. Akan tetapi justru mebangun dan memajukan wilayah tersebut karena pada dasarnya rakyat Papua diberikan kepercayaan khusus oleh pemerintah pusat untuk mengelola Sumber daya alam yang ada dengan tanpa adanya pemisahan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Artikel yang saya baca, Ada tujuh butir Nilai-nilai Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah :
1. Perlindungan terhadap Hak-hak Dasar Penduduk Asli Papua
2. Demokrasi dan Kedewasaan Berdemokrasi
3. Penghargaan tehadap Etika dan Moral
4. Penghargaan terhadap Hak-hak Asasi Manusia
5. Penegakan Supremasi Hukum
6. Penghargaan terhadap Pluralisme
7. Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara
Dapat disimpulkan bahwa dalam Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah Papua harus dapat dilakuakan dengan mengubah total semua praktek-praktek pembangunan di masa lalu baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dimana telah mengabaikan bahkan melanggar HAM rakyat Papua. Penggunaan kekuatan keamanan dan militer yang berlebihan dan melanggar HAM di waktu lalu, yang mengakibatkan banyak rakyat Papua hidup dalam rasa takut, harus dihilangkan dalam era Otonomi Khusus ini.

Selasa, 22 Desember 2009

BOLA PANAS CENTURY

Dias Satria SE., M.App.Ec

Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Brawijaya

Belum tuntas dengan kasus Bibit dan Candra, kini Bola api Bank Century mulai menggelinding. Berbagai elemen dan kelompok masyarakat serta DPR kian giat mengungkap dan memperkarakan masalah ini ke ranah politik dan hukum. Pernyataan akademisi dan ekonom tentu kian usang dimakan taktisnya pernyataan-pernyataan politis. Namun untuk mengimbangi kasus ini secara proporsional, kasus ini secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Dalam kasus Bank Century dapat dilihat secara jelas bahwa titik permasalahannya ada pada mismanagement internal yang secara aktif melanggar ketentuan prinsip kehati-hatian hingga mengakibatkan kerugian dan tergerusnya modal, hingga mencapai CAR terendah mencapai titik 3%. Dalam hal ini jelas bahwa Bank Century telah melakukkan aktivitas keuangan diluar batas kewajaran, dengan melakukkan transaksi yang bersifat spekulatif di pasar keuangan.

Kedua, permasalahan selanjutnya dalam Bank Century adalah ketika Bank Indonesia dan Pemerintah tengah melakukkan injeksi bantuan likuiditas untuk membantu proses Recovery bank Century, para shareholder atau pemilik Modal Bank tersebut ramai-ramai melarikan uang tersebut ke Luar Negri.

Modus kejahatan perbankan ini persis seperti apa yang terjadi di tahun 1997 yang menyebabkan kerugian Negara hingga 700 Triliun. Dimana mismanagement perbankan pada saat itu disebabkan karena perbankan nasional sedang giat-giatnya meningkatkan posisi hutang luar negri guna menikmati perbedaan suku bunga yang besar dan stabilnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Keadaan ini yang selanjutnya disebut sebagai Overborrowing atau peminjaman yang berlebihan, sehingga ketika terjadi krisis moneter yang menyebabkan kurs anjlok berlipat-lipat, mereka kemudian terjerat hutang luar negri yang mematikan. Dalam kasus ini jelas mendorong BI untuk menginjeksi bantuan likuiditas guna mengamankan system keuangan dan system pembayaran dari hancurnya system perbankan (resiko sistemik). Namun ketika BI sudah menginjeksi dana tersebut, para pemilik modal yang banknya tersangkut masalah keuangan mulai kabur dan melarikan bantuan likuiditas BI.

Dalam kasus ini maka Kasus Bank Century hendaknya dilihat juga secara seimbang, secara ekonomi. Karena belakangan opini-opini kriminalisasi, politik dan hukumlah yang kerap mencuat dan difahami publik. Dalam kesempatan ini maka pandangan-pandangan secara ekonomi akan diungkapkan secara sederhana untuk menjelaskan kasus Bank Century.

Pertama, Bail Out Bank Sentral terhadap suatu bank tidak didasarkan pada apakah pemilik Bank tersebut memiliki record baik atau buruk, namun lebih didasarkan pada apakah kebankrutan tersebut menimbulkan masalah sistemik atau tidak. Dalam kasus ini tentu pertimbangan BI tidak terpengaruh pada mismanagement yang dilakukkan Bank Century sebelumnya, karena hal tersebut tidaklah urgent dipertimbangkan demi penyelamatan sisten perbankan dan sektor riil. Konteks Sistemik yang dimaksud adalah bahwa kebankrutan Bank Century dapat mentrigger krisis keuangan pada lembaga keuangan lainnya, baik secara langsung (Hubungan pinjaman atau connected lending) maupun mempengaruhi psikologis pasar keuangan secara umum (tidak langsung).

Kedua, dalam kondisi rentan krisis seperti yang terjadi saat ini “semua hal sangat mungkin terjadi” termasuk kejadian yang lebih parah yaitu: resiko sistemik dan krisis perbankan. Oleh karena itu pertimbangan untuk melakukkan Bail out menjadi pilihan yang cukup dilematis bagi Bank Sentral. Disatu sisi kebijakan ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya krisis perbankan, namun disisi lain Bail Out bisa diartikan sebagai implicit guarantee Bank Sentral pada siapapun pemilik Banknya.

Jangan mudah bermain kata-kata dan mempermainkan fakta

Permasalahan Bank Century hendaknya dapat diantisipasi secara arif oleh masyarakat Indonesia. Tentu ini merupakan pelajaran berharga dalam proses perjalanan bangsa ini kedepan, bahwa tindakan apapun harus dipertanggung jawabkan baik secara hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Namun kita perlu lebih arif melihat sebuah masalah dan tidak mempermainkan fakta-fakta ini guna kepentingan kelompok dan keuntungan sesaat.

Bank Century saat ini tengah menjalani proses hukum, dan harus kita hargai bagaimana keputusan pengadilan karena penegakkan hukum “Law Enforcement” kian membaik di Negara ini. Namun sekali lagi, jangan pernah mempersempit ruang gerak ekonomi pemerintah untuk memajukan perekonomian domestik karena serangkaian masalah-masalah yang kian tidak proporsial dipermasalahkan, telah banyak berpengaruh pada perekonomian domestik. Masih banyak masalah-masalah ekonomi Bangsa ini yang lebih urgent untuk diselesaikan mulai permasalahan kemiskinan kronis, pertanian yang terpuruk, investasi yang stagnan dan masa depan ekonomi yang kian tidak jelas. Mari kita juga meluangkan fikiran kita untuk menolong ekonomi bangsa ini lebih maju dan siap dalam pertarungan ekonomi 2010 dalam ASEAN FREE TRADE AREA dan perdagangan bebas WTO (WORLD TRADE AREA).

Rekomendasi Kebijakan

Masalah dalam dunia perbankan sangat erat kaitannya dengan era globalisasi keuangan yang semakin pesat, disisi lain tuntutan untuk mempertahankan diri dalam kompetisi yang ketat juga kian muncul. Dalam Kasus Bank Century menjelaskan bahwa tingginya kompetisi perbankan dan era globalisasi keuangan (majunya pasar-pasar keuangan dan instrument keuangan) mendorong Bank-Bank Kecil seperti Bank Century untuk mencari keuntungan lain diluar aktivitas normal perbankan. Hal ini disebabkan karena tingginya kompetisi perbankan telah menggeser keuntungan perbankan, sehingga mereka berusaha mencari keuntungan lain dengan kompensasi resiko yang tinggi. Dalam konteks ini “JUJUR” bahwa Bank Indonesia tidak berhasil untuk melakukkan proses pengawasan yang ketat dan penhaturan kompetisi yang sehat. Bahkan di era resesi ekonomi semasa 2006-2008, BI seharusnya lebih “awas” terhadap transaksi-transaksi spekulatif yang dilakukkan oleh perbankan.

Dalam penanganan Bail Out, kriteria yang “rigid” memang perlu untuk diimplementasikan. Bahkan di saat krisis dan resesi kriteria Bail Out perlu di “Open” baik oleh Bank Indonesia maupun pemerintah. “Pandangan positif saya” Yang terjadi saat ini adalah setiap institusi yang ada melakukkan pengamanan system keuangan dengan kriteria yang difahami sendiri. Sehingga ketika mereka mengeksekusi Bail Out dengan dana yang besar (6,7 T), wajar banyak pihak yang mempertanyakan hal tersebut.

Dalam konteks ini ada beberapa hal yang harus dilakukkan:

Pertama, Bank Indonesia dan Pemerintah harus merumuskan sebuah kriteria dan tahapan “rigid” atas proses “Bail Out” baik dalam keadaan krisis maupun tidak krisis.

Kedua, Pengawasan aktivitas keuangan perbankan perlu ditingkatkan lagi, khususnya pada lembaga perbankan berasset rendah. Ada indikasi bank-bank tersebut luput dari pengawasan BI karena keaktifannya dalam permainan di pasar uang (spekulatif).

Ketiga, Revitalisasi intermediasi perbankan perlu dilakukkan oleh Bank Indonesia, melihat kecenderungan saat ini bahwa inovasi keuangan bank makin giat dilahirkan sejalan dengan permintaan pasar dan gaya hidup yang juga besar (Kartu Kredit, Kredit Konsumtif dll). Fenomena ini tentu harus dibatasi oleh BI karena hal tersebut sedikit sekali memberikan impact positif bagi pembangunan ekonomi secara utuh.

Dengan pemahaman ini diharapkan mispersepsi dan konflik atas kasus-kasus ekonomi dapat teratasi dengan baik dan tidak berlarut-larut menggangu perekonomian domestik.

MENGHARGAI KOMPETENSI SEORANG EKONOM

Dias Satria (posted in Indikator)

Sebagai salah satu Jurusan di Fakultas Ekonomi, Jurusan Ekonomi Pembangunan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menelurkan para ekonom yang gigih dan berbakat. Beberapa nama penting, seperti: Sri Mulyani (Menkeu), Mari Pangestu (Memperindag), Miranda Gultom (Deputi BI), Budiono (Wapres) dan Ahmad Erani Yustika (Ekonom) adalah beberapa contoh ekonom yang tidak asing di negeri ini. Kiprahnya sudah tidak lagi diragukkan telah banyak menyuarakan dan berbuat bagi kepentingan ekonomi bangsa sesuai dengan profesi yang digeluti.

KRISIS EKONOMI: FAKTA KETIDAKBECUSAN SEORANG EKONOM?

Dalam setiap siklus ekonomi seringkali terjadi upturn dan downturn dari pendapatan nasional atau output, yang juga sangat kuat berpengaruh bagi penguatan image ekonomi dan kredibilitas suatu pemerintahan dan Negara. Ketakutan akan sebuah perekonomian yang menurun akan dapat menciptakan instabilitas sosial dan politik tentu bukanlah isapan jempol semata, hal ini terbukti dari beberapa fakta yang terjadi di tanah air di tahun 1997. Chaos ataupun riot terjadi sebagai puncak ketidakpuasan masyarakat atas kinerja pemerintah yang tidak mampu menenangkan badai krisis ekonomi.

Hal ini jugalah yang menjelaskan betapa pentingnya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, serta kebutuhan akan analisis dan policy ekonomi yang tepat, yang mampu membawa perekonomian ke arah yang lebih baik. Namun meski kita memahami hal tersebut, namun pandangan miring akan ketidakbecusan ekonom dalam menjaga perekonomian juga sering kali kita dengar. So, apa dan siapa yang salah dari keadaan ini?

Berdasarkan 3 event ekonomi terbesar di dunia, yaitu: Depresi Ekonomi dunia tahun 1929, Krisis Asia 1997 dan Resesi Global tahun 2007, menunjukkan bahwa ketiga permasalahan tersebut tidak sepenuhnya disebabkan karena kesalahan pandangan atau pemikiran secara ekonomi.

Pertama, di tahun 1929, depresi ekonomi disebabkan karena permasalahan politik (perang dingin) yang berimplikasi pada kebijakan perdagangan internasional negara-negara yang dipaksakan secara politis untuk melakukkan proteksi ekonomi. Keadaan ini pulalah yang mentrigger terjadinya trade policy war atau perang kebijakan proteksi yang mengakibatkan kebekuan perdagangan internasional.

Kedua, Krisis Asia tahun 1997 merupakan kombinasi yang parah antara perilaku pasar keuangan yang diluar batas serta kebijakan pemerintah yang lemah. Dalam konteks ini, behaviour masyarakat dan perusahaan yang cenderung berlebihan dalam melakukkan pinjaman atau hutang luar negri yang tidak terlindungi (unhedged foreign borrowing) menyebabkan mereka sangat terbuka dalam menghadapi shock atau tekanan yang ada. Keyness secara sederhana mengingatkan dalam tulisannya di tahun 20an sebagai perilaku Animal Spirit yaitu perilaku yang cenderung dikuasai oleh nafsu dengan tidak memperhatikkan resiko yang mungkin terjadi.

Ketiga, Resesi Ekonomi Global tahun 2007 utamanya dipicu oleh permasalahan kebijakan ekonomi AS (Amerika Serikat) yang salah, yang menitik beratkan pada kebutuhan perang dengan mengorbankan pada defisit fiskal yang sangat besar. Apakah para ekonom AS tidak melihat titik hitam dalam perekonomian AS? Tentu saja mereka sangat memahami keadaan tersebut, dan sebagai ekonom AS pun sebenarnya tidak sepakat dengan kebijakan yang dilakukkan oleh George Bush. Namun apa yang bisa dilakukkan jika kebijakan politik yang irasional dipaksakan dan harus mengorbankan ekonomi. Hasilnya seperti yang terlihat saat ini dimana, defisit fiskal AS yang begitu besar memicu perlambatan ekonomi AS yang kemudian juga memicu perlambatan perekonomian global.

All in all, ringkasan ketiga fakta diatas menunjukkan bahwa permasalahan ekonomi yang terjadi bukan sepenuhnya disebabkan oleh ketidakbecusan seorang ekonom. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi perekonomian menuju arah yang salah, antara lain: Perilaku masyarakat yang negatif (Moral Hazzard), Pemerintahan yang lemah serta Kebijakan Politik yang dipaksakan.

Namun disisi lain, masyarakat bisa saja menjudge ketidakbecusan ini sebagai koreksi yang positif bagi ekonom sebagai bahan introspeksi diri. Artinya seorang ekonom harus bertanya pada dirinya sendiri, Apakah para ekonom yang bekerja sebagai pengajar (dosen) telah benar-benar mengupdate ilmunya dan memahami secara benar ilmu dan realitas ekonomi? Apakah para peneliti ekonomi telah secara benar-benar melakukkan penelitiannya baik di tingkat pengembangan teori, pengumpulan data, analisis data dan pengambilan kebijakan? Apakah para ekonom telah secara murni menyampaikan gagasannya? Apakah para policy maker sudah benar-benar mempertimbangkan cost-benefit kebijakannya bagi kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat? Pertanyaan inilah yang seharusnya mereka sadari dan fahami bagi perbaikkan kinerja profesinya sebagai ekonom.

MASALAH JURUSAN DI SKALA MIKRO

Salah satu masalah terbesar yang kini dihadapi dan masih belum ada jalan keluar yang riil adalah kesadaran untuk menghargai sebuah “kompetensi keilmuan”. Contoh nyata dari masalah ini adalah masih banyaknya para banker (Bankir) yang tidak memiliki background ekonomi yang baik, selain itu juga tidak banyak perusahaan domestik yang memperkerjakan tenaga kerja sesuai dengan bidangnya. Bahkan ada pandangan yang meyakini jika seseorang ahli atau pandai berhitung (matematika) sudah pasti dia pandai disegala hal. Hal inilah yang kadang menjadi salah kaprah, baik di tingkat yang paling rendah yaitu perekrutan tenaga kerja hingga penciptaan industri-industri yang lemah karena tidak diurus oleh ahlinya.

Pemahaman masyarakat yang rendah atas kompetensi keilmuan Jurusan Ekonomi Pembangunan sedikit banyak menimbulkan kesalahan dalam mengintepretasikan fungsi sebuah ilmu ekonomi dalam aktivitas ekonomi. Inilah merupakan tanggung jawab bersama para stakeholder school of economics untuk kembali mensosialisasikan dan menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat.

THINKING LIKE AN ECONOMIST

Perkembangan analisis ekonomi baik di media massa dan media elektronik telah memberikkan warna tersendiri dalam pengembangan edukasi masyarakat atas suatu fenomena ekonomi dan permasalahannya. Hal ini jugalah yang telah mendorong peradaban masyarakat yang sudah semakin maju dan kritis dalam memahami dan merespon kebijakan ekonomi pemerintah. Dalam bahasa text book alasan utama mempelajari ekonomi adalah “to learn a way of thinking”, yaitu model berfikirnya seorang ekonom yang memiliki 3 konsep fundamental dalam beranalisis, yaitu: Oppurtunity cost, Marginalism dan Efficient Market. (Lihat secara lengkap di Buku Pengantar Ekonomi Karangan Case and Fair).

Jika kita mau memahami 3 konsep sederhana tersebut, tentu hal tersebut akan sangat bermanfaat dalam menganalisis kondisi apapun dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan jika kita menggunakannya secara arif dalam konteks yang lebih luas, bisnis misalnya, tentu akan memberikkan keuntungan.

Contoh yang sederhana dari Efficient Market misalnya, konsep ini menjelaskan bahwa keuntungan atau profit dalam suatu perekonomian akan sangat cepat hilang. Karena kecenderungan masyarakat berusaha untuk mencari keuntungan yang menjanjikkan. Sehingga jangan heran jika ada penjual bakso bakar yang laris misalnya, maka akan muncul para penjual bakso bakar lainnya yang ingin menchallenge dan mencoba peruntungan. Oleh karena itu konsep ini mensuggest kita untuk selalu berfikir dan bertindak inovatif dan kreatif, agar bisnis atau hal yang kita lakukkan tidak mudah diikuti dan mempunyai kekhasan yang berbeda dengan lainnya. Konsep ini juga memiliki motto yang popular, yaitu: “No Free Lunch…” atau tidak ada makan siang yang gratis. Meski secara kasat mata anda dibayari oleh partner atau teman anda. Selalu saja ada benih-benih tendensi dari teman atau partner anda jika mereka melakukkan hal tersebut. Meski mungkin konsep ini juga harus direvisi, bahwa tendensi orang berbuat baik bisa jadi tidak berhubungan dengan dunia jika mainstream yang digunakan berbasis religi seperti sharia economics. Namun inilah …way of thinking yang harus selalu kita fahami.

Memahami bagaimana seorang ekonom berfikir juga dapat dipelajari dari apa yang dipaparkan oleh Gregory Mankiw dan Jeffrey Sachs. Pertama, Mankiw menjelaskan bagaimana seorang Ekonom berpikir ala detektif. Kedua pandangan Jeffrey Sachs yang memandang masalah ekonomi dengan pendekatan Clinical Economics.

Dalam pandangan Mankiw, ekonom memiliki pendekatan yang hampir sama sebelum menarik kesimpulan. Mereka memulai pekerjaannya dengan membangun teori, kemudian mencari fakta (data), mencocokkan teori yang dibangun dengan fakta (data) dilapangan yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan.

Selanjutnya, dalam pendekatan Clinical Economics, seorang ekonom layaknya dokter diharapkan dapat memahami gejala-gejala yang timbul dari suatu penyakit, yang dari sinilah baru kemudian seorang dokter dapat mengambil tindakan atau treatment yang tepat bagi proses penyembuhan. Dalam proses ini seorang dokter atau ekonom diharapkan memahami bagaimana jalur transportasi darah (uang) dan pentingnya dalam menunjang fungsi organ lainnya (aktivitas perekonomian). Oleh karena itu para dokter atau ekonom membutuhkan gambaran yang jelas dari bagian seluruh organ (data ekonomi) untuk dapat mengambil kesimpulan yang tepat.

ALL IN ALL

Terakhir, pengembangan ilmu ekonomi diharapkan dapat terus bermanfaat demi eksistensinya dalam mendorong aktivitas dan pembangunan ekonomi yang lebih maju. Hal ini tentu sangat diharapkan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Di sisi lain, mahasiswa ekonomi saat ini juga dituntut untuk menghargai ilmu yang digelutinya dengan baik. Hal ini ditujukkan agar mereka semakin yakin dan haus akan penimbaan ilmu yang lebih dalam. Semoga hal ini dapat memberikkan impulse yang besar bagi kemajuan dan peradaban ekonomi yang lebih baik, serta pemahaman yang baik akan kompetensi sebuah ilmu ekonomi.

Rabu, 02 Desember 2009

Peraih Nobel "Herbertz Simon" (bounded rationality)

Biografi
Herbert Alexander Simon (15 Juni 1916 – 9 Februari 2001) adalah peneliti di bidang psikologi kognitif, ilmu komputer, administrasi umum, ekonomi dan filsafat. Pada tahun 1975, Simon mendapat penghargaan Turing Award dari ACM, bersama Allen Newell atas jasanya dalam memberikan kontribusi yang besar di bidang kecerdasan buatan, psikologi manusia dan pengolahan senarai. Pada tahun 1978 Simon juga mendapat penghargaan Nobel di bidang Ekonomi, atas penelitiannya di bidang pengambilan keputusan pada organisasi ekonomi. Salah satu konsep temuannya antara lain adalah istilah rasionalitas terbatas dan keterpuasan (satisficing).
Herbert Simon lahir di Milwaukee, Wisconsin pada tahun 1916. Ia meraih gelar sarjananya pada tahun 1936 dari University of Chicago. Kemudian ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Politik dari universitas yang sama pada tahun 1942, dengan disertasinya mengenai administrasi umum. Disertasinya ini kemudian diterbitkan dengan judul Administrative Behavior, dan konsep-konsep yang dikembangkan dalam buku inilah yang akhirnya membuat Simon menerima penghargaan Nobel. Simon sempat bekerja di Berkeley dan di Illinois Institute of Technology. Sejak tahun 1949, Simon bekerja di Carnegie Mellon University hingga wafat.
Pada tahun 1956, bersama Allen Newell, Simon mengembangkan Logic Theory Machine dan program General Problem Solver (GPS) pada tahun 1957. GPS adalah metode penyelesaian masalah dengan cara memisahkan strategi pemecahan permasalahan dari informasi/data yang spesifik tentang masalah itu sendiri. Kedua program ini dikembangkan dengan menggunakan bahasa IPL (Information Processing Language) tahun 1956 yang dikembangkan oleh Newell, Cliff Shaw dan Simon. Dalam buku The Art of Computer Programming vol 1, Donald Knuth menyebutkan bahwa pengolahan senarai dalam IPL dengan senarai berkait awalnya disebut sebagai "NSS memory", yang merupakan singkatan dari nama-nama penemunya.
Salah satu kiasan generatif untuk karya Herbert Simon yaitu rasionalitas terbatas adalah maze (tempat yang penuh dengan jalan dan lorong berliku-liku dan simpang siur). Kita berada dalam maze, tidak melihatnya dari atas helikopter untuk mensurvei semua pilihan dari sudut pandang seorang pemain Olympiade. Seseorang tidak dapat melihat semua kemungkinan pada waktu orang lain, seseorang tidak mengetahui probabilitas hasil yang diberikan dari pilihan seseorang, dan seseorang tidak memiliki kapasitas komputasional untuk menentukan suatu hasil yang optimal bahkan bila ia memiliki informasi mengenai hal ini. Oleh karenanya, kapasitas kita untuk perilaku rasional sangatlah terbatas dalam banyak dimensi.
Saat Simon tidak secara langsung mengarah kepada permasalahan pembangunan ekonomi, karyanya telah merintis kritik terhadap pembuat keputusan rasional secara substantif yang termanifestasi dalam model-model perencanaan, model-model dorongan besar, dan lebih umum lagi, dalam ambisi alasan teknokrasi. Suatu kontras dari berada dalam maze dibandingkan di atas maze merupakan suatu model mental yang berguna untuk menjelaskan dan membandingkan strategi-strategi pertumbuhan yang dalam kenyataannya tidak seimbang dengan mimpi-mimpi program pembangunan komprehensif.

Teori Pilihan Rasional
Penjelasan teoritik dari menonjolnya kepentingan pribadi, kelompok, atau partai dalam dunia politik justru lahir pertama kali dari seorang ahli ekonomi, yaitu James Buchanan. Ia telah memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam perlikau para politikus yang kemudian dikenal sebagai "Teori Pilihan Rasional" (Rational Choice). Teori inilah yang menghantarkannya sebagai salah satu penerima hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi. Teorinya ini kemudian juga dianggap melahirkan disiplin ilmu ekonomi-politik.
Dalam teori tersebut, Buchanan mengatakan, adalah sebuah pilihan yang rasional jika seseorang terjun ke dunia politik terutama memperjuangkan kepentingan pribadinya. Perjuangan kepentingan individu para politikus tersebut di samping bisa bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau mereka yang diwakilinya, bisa juga menciptakan hal-hal yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme.
Sebagai contoh, jika seorang anggota DPRD melihat jalan-jalan di kotanya rusak, sehingga ia tak nikmat menyetir mobil, dan lalu mengusulkan perbaikan jalan kepada wali kota, maka bukan hanya si anggota DPRD yang diuntungkan, tetapi juga masyarakat umum di kota itu. Jika demikian yang terjadi, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan adanya motivasi kepentingan pribadi dalam diri politikus.
Teori ini sebenarnya mirip dengan teori ekonomi klasik yang pertama kali dikemukakan oleh bapak ilmu ekonomi Adam Smith. Smith juga mengatakan bahwa pemerintah tidak usah repot-repot mengatur masyarakat, khususnya di bidang ekonomi, karena individu-individu dalam masyarakat akan memperjuangkan kepentingan ekonominya sendiri-sendiri. Perjuangan kepentingan ekonomi individu-individu itu di samping menciptakan persaingan, juga menciptakan ketergantungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Untuk memperjelas hal tersebut, Adam Smith pernah menulis begini: ".... Jika seorang membuat roti untuk dijual kepada orang lain, maka motivasinya bukan karena ia orang baik hati yang tak ingin melihat orang lain kelaparan, melainkan karena ia sendiri butuh uang untuk makan yang bisa ia dapat dengan membuat dan menjual roti itu."
Dalam perkembangannya, memang banyak yang tidak setuju dengan pandangan Buchanan ini. Fakta membuktikan bahwa perjuangan kepentingan pribadi para politikus tersebut seolah tanpa batas dan jarang sekali yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat yang diwakilinya.

Rasionalitas Terbatas
Sedikit berbeda dengan James Buchanan, ahli ekonomi politik yang lain, yaitu Herbert Simon yang juga pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi mengemukakan teorinya yang disebut sebagai "Teori Pilihan Rasional yang Terbatas" (Bounded Rationality Theory). Dalam teori yang melengkapi bahkan menyangkal teori Buchanan, Herbert Simon menyatakan bahwa pilihan rasional para politikus yang memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan lebih utama dari kepentingan masyarakat akan secara otomatis atau alamiah dibatasi.
Pembatas dari pilihan rasional para politikus berupa motivasi kepentingan pribadi adalah kenyataan bahwa masyarakat ternyata selalu ikut mengawasi perilaku para politikus dan tak segan-segan memberi "hukuman" jika memandang perilaku mementingkan diri sendiri dari para politikus itu sudah keterlaluan.
Bentuk hukuman publik yang paling biasa adalah tidak memilih lagi si politikus itu pada pemilihan umum berikutnya. Oleh karena itu, menurut Herbert, dalam kenyataannya si politikus akan mencoba mencari keseimbangan antara memperjuangkan kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat umum, khususnya yang mereka wakili atau yang memilih mereka.
Pandangan Herbert Simon ini tampaknya juga berlaku pada politikus Indonesia, baik pada pemilu legislatif, pemilu presiden putaran pertama bahkan juga pada pemilu presiden putaran kedua. Pada pemilu legislatif, temyata hanya diwarnai protes-protes kecil dari partai yang kalah. Tidak sampai terjadi keributan yang besar dari partai yang kalah dalam pemilu. Mengapa demikian? Karena partai-partai itu sadar bahwa jika mereka terlalu menampakkan motivasi mengejar kepentingan partai dengan main protes sana-sini dan bahkan dengan aksi kekerasan, maka mereka justru tidak mendapat simpati dari masyarakat pada pemilu berikutnya.
Demikian juga pada pemilihan presiden putaran pertama. Awalnya tampak calon-calon presiden yang gagal memprotes hasil perhitungan suara dengan berbagai dalih. Namun pada akhirnya mereka menyerah dan menyatakan menerima hasil penghitungan suara dan memberi selamat pada calon yang masuk putaran kedua.
Mengapa demikian? Karena para calon yang gagal masuk putaran kedua itu sadar bahwa jika mereka terlalu ngotot memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri dengan cara memprotes hasil perhitungan suara, maka hal itu justru akan menjadi bumerang. Dalam arti, mereka tak akan mendapat simpati dari para pemilih atau masyarakat pada pemilihan presiden periode berikutnya.

STUDI KASUS
Persiapan Pemilu 2009
Harap-harap cemas yang lain adalah ekonomi di tahun 2008, akan dipengaruhi oleh suhu politik yang memanas karena antarpara pelaku politik sudah memulai ancang-ancang untuk bisa merebut posisi pada pemilihan umum di tahun 2009. Masalah ini sebagian sudah disinggung dalam tulisan Didik J Rachbini "Ekonomi Politik 2008" (Suara Merdeka, 22 Desember 2007). Tetapi tulisan Didik J Rachbini tersebut hanya menyinggung aspek politik menjelang Pemilu 2009 yang akan mempengaruhi ekonomi Indonesia 2008 hanya dari sisi gesekan antarelite politik. Menurut Didik pandangan optimistis menyatakan bahwa kondisi akan aman-aman saja karena kita sudah punya pengalaman reformasi dan gejolak pilkada di berbagai daerah, yang ternyata membuat para pelaku bisnis sudah mulai biasa dengan gejolak politik.
Sedangkan pandangan pesimistis menyatakan bahwa akumulasi kekecewaan publik pada kinerja pemerintah yang lamban dalam kebijakan ekonomi akan benar-benar membuat suhu politik memanas, dan akan mempengaruhi lingkungan dunia usaha di tahun 2008. Satu haI yang tidak disinggung dalam tulisan Didik tersebut adalah bahwa para pelaku politik khususnya yang sekarang sedang berkuasa akan tetap berusaha berkuasa kembali dengan memenangkan pemilu tahun 2009. Berbagai teori ekonomi politik dengan mudah menjelaskan hal itu.
Pertama,teori Pilihan Rasional James Buchanan yang menyatakan bahwa seseorang terjun ke dunia politik karena ia seorang rasional yang memperjuangkan kepentingan pribadinya. Kepentingan pribadi tersebut tidak selalu bertentangan dengan kepentingan umum. Misalnya jika seorang anggota DPRD menyetir mobil melewati jalan yang rusak kemudian ia mengusulkan kepada walikota supaya jalan itu diperbaiki maka perbaikan jalan itu juga menguntungkan masyarakat umum.
Kedua, teori Rasionalitas Terbatas Herbert Simon. Teori ini menyatakan, kepentingan pribadi seorang politikus dalam perjuangan politiknya akan dibatasi oleh penilaian masyarakat akan kinerjanya. Kinerja yang dimaksud adalah apakah ia cukup memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya atau tidak.
Namun, yang penting kedua teori tersebut menjelaskan bahwa kepentingan pribadi para politikus yang sekarang berkuasa untuk memenangkan kembali Pemilu 2009 akan membuat arah kebijakan makro ekonomi 2008 menjadi tidak on the track. Yang dimaksud tidak on the track adalah kebijakan ekonomi akan memihak kepada rakyat (populis) dalam rangka menarik simpati masyarakat.
Tetapi kebijakan itu sifatnya instan dan keluar dari jalur perencanaan ekonomi jangka panjang. Akibatnya stabilitas ekonomi makro yang mulai terjaga bisa terganggu. Kebijakan struktural jangka panjang seperti penanggulangan kemiskinan dan pengangguran juga bisa terganggu. Kalau hal itu terjadi maka kepastian bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi Indonesia yang mendasar iuga akan terganggu. Ini yang perlu diawasi dan diwaspadai di tahun 2008.